Headlines News :
Home » » Kumpulan Cerita Dewasa | Semalam Banjir Keringat Bersama Apoteker Muda

Kumpulan Cerita Dewasa | Semalam Banjir Keringat Bersama Apoteker Muda

Written By Great Story on Senin, 29 Agustus 2016 | 05.01


Cerita Sex, Cerita Dewasa, Cerita Hot - Semalam Banjir Keringat Bersama Apoteker Muda - Aku pulang dari Luar pulau setelah berada di sana selama tiga minggu untuk urusan kDimasr. Karena badan terasa lelah sekali, begitu pesawat take off aku langsung tertidur lelap dengan melepas seat belt agar lebih nyaman. Aku sudah tidak peduli dengan penumpang di sampingku. Seorang wanita berumur tiga puluhan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara halus.

“Pak, sandarannya ditegakkan dan sabuknya dipasang. Sudah mau landing”

Ternyata suara pramugari mengingatkanku. Aku setengah terkejut dan kesadaranku masih belum pulih ketika roda pesawat sudah menyentuh landasan. Setelah pesawat berhenti baru aku sadar sepenuhnya. Kemudian awak kabin mengumumkan pesawat akan transit selama 45 menit dan penumpang dipersilakan untuk turun menunggu di ruang tunggu bandara Juanda. Karena aku duduk di dekat jendela, maka aku menunggu wanita tadi keluar dari bangkunya. Aku mengikuti barisan penumpang yang turun dan tak lama aku sudah berada di ruang tunggu.

Wanita tadi duduk di depanku agak ke menyamping ke kanan. Aku berdiri sebentar dan merentangkan tanganku agar otot-ototku relaks, lalu duduk lagi. Wanita tadi memperhatikanku sekilas. Kulempar senyum dan iapun membalas sekedarnya. Kacamata tipis, mungkin minus satu atau paling banter minus dua bertengger di hidungnya yang bagus. Kubaca Matra Edisi Khusus yang kubeli di book store. Liputannya tentang kehidupan malam sepanjang Bopunjur.

Tahu Bopunjur? Bogor, Puncak, Cianjur. Kubuka-buka sebentar dan sekilas isinya aku sudah tahu. Bahkan bukan sombong, tempat-tempat yang disebutkan di dalam liputan itupun bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Akhirnya kuletakkan Matra tadi di atas meja di sampingku. Wanita tadi sekilas memperhatikan covernya.

“Mas, boleh pinjam majalahnya?” ia bertanya sambil mendekat mengambil Matra tadi.

Sayang, rupanya tempat duduknya kemudian diambil orang yang berdiri dan mengobrol dengan teman yang duduk di sebelah wanita tadi. Kuturunkan tasku dari bangku di sampingku dan tanpa disuruh wanita tadi sudah duduk di situ dan mulai membuka lembaran majalah yang dipegangnya.

Terdengar pengumuman bahwa pesawat yang kunaiki mengalami gangguan teknis sehingga pemberangkatan ditunda satu jam. Kudengar gerutuan sebagian penumpang. Wanita tadi cuma memiringkan kepalanya memperhatikan pengumuman tadi dan setelah itu ia kembali asyik membaca. Setelah tiga puluh menit membaca, ia menyerahkan majalah itu kembali padaku sambil mengucapkan terima kasih. Aku memulai percakapan.

“Ke Jakarta?” tanyaku.
“Iya, untuk tugas dari kantor,” jawabnya.
“Di Jakarta tinggal di mana?” tanyaku lagi.
“Belum tahu, sebenarnya saya harus ke Ciawi untuk ikut kursus, tapi nampaknya kita akan kemalaman tiba di Cengkareng. Aku sendiri belum hafal Kota Jakarta. Apalagi malam hari.

Tadi kalau berangkat siang sih sebenarnya ada panitia yang jemput. Mau langsung ke Ciawi agak ngeri, apalagi setelah membaca liputan tadi”. Dari logatnya aku menduga ia berasal dari Banjar. Setelah kutanyakan kepadanya ternyata benar dan ia sudah bekerja di Balikpapan selama lima tahun. Aku tidak menanyakan statusnya. Buat apa pikirku. Toh aku tidak berniat memacarinya.

“Kerja di mana sih?” Pertanyaanku mulai menjurus hal-hal yang personal.
“Saya apoteker”.
“Pantas bajunya bau obat,” aku kelepasan bicara. Aku baru sadar setelahnya. Ia melengos mukanya memerah, mungkin tersinggung dengan ucapanku tadi.

Satu jam berlalu dan kulihat ia menjadi gelisah sambil terus-menerus memandang keluar, ke arah landasan. Akhirnya setelah seperempat jam kemudian pesawat kami sudah siap melanjutkan penerbangan dan para penumpangpun naik ke pesawat. Lima puluh menit kemudian pesawat sudah tiba di Cengkareng. Karena tidak bawa bagasi, aku bergegas keluar. Wanita tadi masih menunggu tas satunya di bagasi. Aku masih berdiri di luar sambil cari-cari taksi ketika wanita tadi mendekatiku.

“Mas pulangnya kemana?”
“Saya tinggal di Jakarta Timur”.
Dia kelihatan ragu hendak mengatakan sesuatu. Aku menduga-duga ini ada kaitannya dengan tujuan kepergiannya.
“Kalau mau begini saja. Mbak nginap saja di hotel, besok pagi baru berangkat ke Ciawi. Lebih aman,” kataku menyarankan.

Kulihat dia ragu-ragu dan kelihatan seperti sosok yang lemah. Dia menatapku lagi seakan-akan minta perlindungan.

“OK, jadi begini, Mbak nginap di hotel. Saya akan temani. Eh.. Maksudnya saya ambil kamar satu juga di sana. Besok pagi saya antar ke Ciawi. Kebetulan saya masih ada kelebihan hari perjalanan dinas,” kataku memutuskan.

Akhirnya dia setuju dan mukanya menjadi cerah.

“Oh ya maaf, dari tadi kita belum kenalan. Saya Mitta,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Dimas,” kataku sambil kujabat tangannya.

Aku berpikir, kalau saja dia tidak memerlukan pertolonganku, mungkin dia tidak akan mengajak berkenalan. Tapi wajar saja karena dia perempuan. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di sebuah hotel di kawasan Matraman. Kami dapat kamar bersebelahan. Kami masing-masing masuk ke kamar dan berjanji untuk makan di bawah setelah mandi dan merapikan diri. Setengah jam kemudian kuketuk pintu kamarnya. Tok tok tok.

“Mitta.. Mitta. Ini Dimas”.
“Tunggu sebentar Mas”.

Tak lama kemudian ia membuka pintu kamarnya. Kulihat sekilas barangnya masih berantakan di atas ranjang. Kamipun segera turun ke bawah untuk mencari makanan. Dengan pertimbangan biaya kuajak dia untuk makan di warung tenda saja. Di Jakarta tidak ada tempat untuk gengsi.

“Saya dari Kalimantan kepingin makan gudeg setelah sampai di Jawa,” katanya.
“Ada, nanti kita cari,” jawabku sambil menyusuri trotoar.

Jalan sudah mulai lancar, kupegang tangan kanannya. Ia terkejut dan dengan halus menarik tangannya. Sekilas kulihat jarum pendek sudah melewati angka sembilan.

“Sorry.. Saya hanya mau lihat jam saja kok”. Ia hanya menunduk dan kamipun terus berjalan.
Setelah makan gudeg, kami kembali ke hotel dan duduk di lobby. Rasa penat masih terasa di badanku. Aku sebenarnya mau massage, tapi nggak enak sama Mitta. Kami masih bicara ke sana ke mari, sampai akhirnya kami merasa mengantuk.

Kulihat jam dinding menunjukkan jam setengah sebelas. Kami naik dan kuantar dia di depan kamarnya. Kuharap dia mempersilakanku masuk, namun Mitta hanya mengucapkan terima kasih kemudian selamat malam dan menutup pintunya. Sekilas kulihat sorot matanya yang berbinar memandangku.
Aku masuk ke kamar dan langsung membaringkan diri ke atas ranjang tanpa membuka pakaianku.

Kucoba untuk memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Kubayangkan Mitta yang tidur sendirian di kamar sebelah. Lebih satu jam aku hanya bergolek ke kanan kekiri tanpa bisa memejamkan mata. Akhirnya kuputuskan kuhubungi saja gadis di kamar sebelah ini. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor kamarnya, 237. Setelah beberapa kali berdering kemudian dari seberang terdengar suara agak serak,

“Hallo”.
“Mitta, belum tidur kan?”
“Eh.. Mas Dimas. Belum Mas, mataku tidak bisa terpejam. Padahal di lobby tadi sudah menguap terus. Mikirin besok pagi”.
“Atau lagi mikirin yang lainnya kali,” kataku menggodanya.
“Ahh Mas Dimas ini ada-ada saja”.
“Kita ngobrol lagi aja yuk,” ajakku.
“Sudah malam, nggak enak dilihatin orang nanti”.
“Ini Jakarta Non, saya ke kamarmu ya?” kataku dengan nada setengah memaksa.
“Iya deh,” katanya lemah.

Kuketok pintu kamarnya tiga kali dan kemudian pintu dibuka dari dalam. Aku masuk, kini barangnya gantian berantakan di atas kursi.

“Maaf Mas, berantakan. Belum sempat beresin. Rencananya besok aja sekalian berkemas. Duduk, Mas!”.

Aku mengedarkan pandanganku. Karena sudah tidak ada tempat duduk lagi maka aku duduk diatas ranjangnya. Kami akhirnya ngobrol tentang pengalaman kami masing-masing saat masih kuliah. Semakin lama semakin seru topik obrolan kami. Ia mengeluarkan dua kaleng minuman ringan dari mini bar. Dan meletakkannya di antara kami.

“Diminum Mas”.

Aku mengambil satu kaleng tapi tidak kubuka, hanya kupegang-pegang saja. Entah bagaimana awalnya, tangannya tiba-tiba sudah kupegang dan kutarik dia ke pangkuanku. Kucium bibirnya dengan ganas. Mitta menghindari ciumanku, tapi aku tidak menyerah. Kucoba lagi, kali ini bibirku mendarat pas pada bibirnya. Ia meronta sebentar tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan tidak kalah ganasnya.

“Mas.. Ah.. Ehh .. Ouhh,” Ia gelagapan membalas seranganku.

Kulepaskan seranganku sebentar karena aku merasa jalan tol sudah terbuka di depanku, sekarang tinggal tunggu saat yang tepat saja untuk memacu mobilku. Kutatap dia dengan tajam. Ia kelihatan jengah dan menghindari tatapanku.

Ketika mata kami saling bertemu, aku memberi isyarat dengan menganggukkan kepalaku. Iapun mengangguk malu dan menundukkan mukanya. Aku sedikit terkejut ketika sadar bahwa ia tidak mengenakan bra di bawah kausnya. Aku tahu karena putingnya menonjol, membentuk bayangan satu titik di kausnya.

Aku tersenyum sambil melirik pada payudara Mitta. Mitta cuma tersenyum melihatku, kakinya di taruh diatas pahaku serta dia menyodorkan dadanya ke depan mukaku. Tanpa ada di beri komando saya segera meremas payudaranya dengan penuh nafsu. Tanganku lalu buka kausnya. Saya menciumi payudaranya serta mengisap putingnya yang mulai mengeras.

Tangan Mitta membelai rambutku sembari sesekali mendorongnya ke payudaranya. Saya memakai jariku untuk membelai daerah selangkangannya, serta jariku juga mulai menghimpit terlebih di lipatan vaginanya. Tangan Mitta digesek-gesekan di penisku yang juga telah mengeras.

“Aah.. Mas ss.. Enak.. Teruss.. Dimas.. Ahh”

Mendengar erangan Mitta nafsuku telah tidak bisa ditahan lagi. Saya merebahkan diri sembari menciumi leher Mitta serta naik ke bibirnya. Kubuka celana panjangku. Saya selalu menciumnya dengan penuh nafsu, kutindih badannya di atas spring bed yang empuk. Kulirik bayangan di kaca almari. Tubuhku yang besar seakan-akan menenggelamkan tubuhnya yang mungil. Sembari mendesah Mitta tertawa kegelian,

“Ahh.. Nafsu sangat sih.. ”
Kubuka celana pendeknya serta kutarik sekalian dengan celana dalamnya.
“Akhh.. ”

Kami sama-sama mengulum bibir dengan penuh nafsu, nafas kami mulai tak teratur. Kaki Mitta menjepit pinggangku Saya menciumi leher lalu turun ke payudaranya, lantas saya hisap putingnya. Selalu turun serta mengisap pusarnya, Mitta tak tahan diperlakukan sekian,

“Dimas.. Akh.. Geli akh.., ”

Saya selalu menciuminya lantas saya turun serta waktu hingga di depan selangkangannya saya turunkan kepalaku, menjilati paha serta sesekali menggigitnya. Dia mengganjal kepalanya dengan bantal serta memerhatikanku. Saat mulutku bakal menyapu vaginanya ia menarik kepalaku ke atas serta menciumiku kembali.

 “Jangan.. Saya malu... dan tak umum.. ”.

Penisku kuarahkan ke vaginanya yang basah, kutekan perlahan-lahan serta waktu telah masuk setengahnya saya menghimpit dengan keras.

“Sshh.. Akhh.. Selalu To.. Akh.., ” Mitta merintih.

Bibir kami sama-sama bertautan dengan kuat. Saat kulepaskan bibirnya yang malah mencari-cari bibirku. Mulutnya 1/2 terbuka sembari mendesis-desis. Saya menggerakkan penisku dengan perlahan-lahan serta terkadang saya percepat temponya. Rasa-rasanya penisku dijepit serta diremas-remas dengan kuat oleh otot vaginanya.

Serta hal semacam ini bikin saya makin tak tahan, penisku rasa-rasanya telah nyaris meledak. Saya selalu memompa penisku di vaginanya dengan tempo yang jadi tambah cepat. Nafasku mulai memburu. Payudaranya kuremas serta kupencet hingga putingnya jadi tambah menonjol. Kujilati putingnya serta kugigit-gigit dengan bibirku. Saya menghentak-hentakkan badan Mitta ke ranjang dengan kasar waktu saya telah tidak bisa menahan ledakan penisku,

“Dik Mitta.. Akh.. Ouch.. Akh.. ”.

Kurasakan badan Mitta juga mulai bergetar serta bergerak-gerak dengan irama yang liar. Matanya merem melek, bola matanya memutih. Kakinya menjepit pinggangku. Badanku mengejang serta saya menghimpit badan Mitta sampai makin badan kami makin merapat.

“Akh.. Dimas.. Sangat nikmat.. Sss”
“Yeah Mitta.. Akh. Bila saja dari tadi.. Tentu saya.. ”
“Akh.. Tekan yang cepat serta kuat.. Akh.. ”

Mata Mitta merem melek nikmati sodokan penisku. Saya lalu mengangkat ke-2 kakinya serta memegangnya dengan tanganku. Saya dalam posisi setengah jongkok dengan tumpuan kedua lututku. Tanganku memegang pinggangnya serta penisku menghimpit dengan irama yang makin cepat. Vaginanya merasa basah serta becek, tetapi penisku seperti dijepit kuat dengan tang.

“Akgh Dimas.. Saya nyaris.. A a kku.. Nyaris keluarhh.. Ouchhggakhh, ”

Kurebahkan badanku di atas badannya serta kupeluk dengan rapat. Saya nikmati ekspresinya waktu Mitta menanti meraih orgasmenya. Kudiamkan sesaat gerakan penisku. Mitta protes serta tangannya memegang pinggangku dan menggerakkannya naik turun. Kurasa tensinya sedikit turun.

Saya masihlah menginginkan nikmati permainan serta kuharapkan bisa kucapai puncak berbarengan.
Saya menghentakkan pantatku naik turun dengan sedikit kasar. Keringat kami telah mulai bercucuran. Tangan Mitta meremas-remas pantatku serta terkadang menariknya seolah-oleh penisku kurang dalam masuk dalam vaginanya.

Waktu saya rasakan nyaris meledak saya melambatkan gerakanku serta mengatur nafasku sembari mengisap putingnya, saat perasaan itu sedikit hilang saya mulai bergerak lagi. Tangannya meremas pundakku serta dengan liar bibirnya mencari bibirku. Dia mendesah serta gerakannya begitu liar. Saya tahu saat ini waktunya kami bisa meraih puncak kesenangan paling tinggi berbarengan.

“Yeah.. Dimas.. Akhh. Anda belum ingin keluar juga.. Akhh ouchh.. ”

Mitta mengejang dia mengangkat pantat menghimpit penisku hingga rasa-rasanya hingga di basic rahimnya serta penisku terasanya disedot dengan kuat, badan Mitta melengkung serta tangannya menyeka pipiku dengan kuat. Kutekan pantatku perlahan-lahan tetapi penuh tenaga.

“Yeacchchh.. ”.

Badan kami menggelinjang dengan hebat, kami berteriak serta tak peduli bila ada orang lain yang mendengarnya.

“Akhh.. To.. Dimas.. Aakkhh.. ”.
“Mitta anda hebataunhh.. Akh.. Ouchhakhh.. Akh.. Ouch.. ”

Kami mengelepar nikmati kesenangan yang kami rasakan berbarengan. Saya beranjak bangun dari badannya waktu penisku telah mengecil, Badannya bergetar waktu saya mencabut penisku.

“Kau mengagumkan Mit.. Hmm.. Tabat Barito ya! ” pujiku.Ia tersenyum saja serta menggayut di lenganku,
“Kok tahu saja sih.. ”. Tuturnya manja.
“Apoteker yang miliki obat-obatan komplitpun masihlah memercayakan Tabat Barito. Mengagumkan memanglah, ” kataku lagi.

Kami tidur berpelukan hingga pagi serta paginya kuantarkan dia ke Ciawi. Dia berjanji bakal bermalam lagi semalam di Jakarta serta memberi lebih lagi kelak ketika dia ingin pulang ke Kalimantan.

tags #Cerita Dewasa, Cerita Mesum, Cerita Ngentot Janda, Cerita Ngentot Pembantu, Cerita Ngentot Perawan, Cerita Panas, Cerita Pemerkosaan, Cerita Seks Indonesia, Cerita Seks Sedarah, Cerita Selingkuh, Cerita SEX, Cerita Skandal, Cerita Tante Girang, Cewek Telanjang, Foto Bugil, Memek Perawan, Tante Girang, Toket Gede Mulus
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 

Copyright © 2016. Kumpulan Cerita Dewasa - All Rights Reserved